Sabtu, 25 Juni 2016

Ah Sudah Biasa, Katanya - (Cerpen part III) - End

"Oh sebentar, saya ambilkan dulu fotokopiannya. Masuk dulu ke dalem de, sambil nunggu" ajak Bu Tita, salah satu pegawai kecamatan.

Lima menit kemudian, Bu Tita kembali, "Ini diliat dulu aja. Kalo cukup ngebantu tugas kalian, boleh kalian fotokopi"

Eraz dan Oka membolak-balikan halaman yang diserahkan Bu Tita.

"Wah cukup ngebantu nih, Bu. Boleh pinjem dulu buat kami fotokopi?" tanya Oka.

"Silahkan, tukang fotokopinya ada di sebelah kiri kantor kok"

Eraz dan Oka bergegas menuju tempat fotocopy.
-----
Hasil observasi dua kali beserta fotocopy data dari pegawai kecamatan dirasa cukup. Eraz memulai pengetikan, karena seminggu lagi hasil observasi tersebut harus dikumpulkan. Wati dan Oka tidak ada basa-basi menanyakan tugas kelompok tersebut.

"Ah sudah biasa, sekelompok sama yang pacaran pasti endingnya gini" umpat Eraz.
-----
"Wati, tugasnya tolong kumpulin. Aku ada perlu nganter Esa" pesan Eraz ketika sampai di ruang kelas.

Sudah masuk minggu ke tujuh, kalau begitu minggu ini tugas observasi harus dikumpulkan. Wati membolak-balik halaman hasil observasi, disampul makalah tersebut tercetak jelas namanya dan Oka, "Baik juga si Eraz"
-----
"Raz, salah. Kata bu dosen ... bla ... bla ... bla" panjang penjelasan Wati di ruang chat dengan Eraz.

"Yaudah nanti aku koreksi lagi" balas Eraz pada Wati.
-----
"Nih! Gue, eh aku bayar uang bensin pas kemarin observasi, Ka" Eraz memberikan selembar lima ribuan kepada Oka.

"Oke, Eraz. Makasih" Oka menerima lalu pergi meninggalkan Eraz menuju kantin.

"Ah salah lagi, kebiasaan ngomong gue lu ke orang, lah ini? Sok sok-an pengennya ngomong aku kamu, gak cocok di Jakarta kaya gitu" Eraz ngedumel sendiri tentang panggilan aku kamu ke pasangan Wati dan Oka.
-----
Tugas observasi dikumpulkan setelah dikoreksi oleh Eraz. Kali ini, Eraz yang langsung mengumpulkan. Tanpa diketahui oleh Wati dan Oka, nama mereka berdua tidak dicetak disampul makalah oleh Eraz.

"Salah gak ya? Iya sih salah, tapi kalo dibiarin aja? Enak di mereka dong!"

Sambil menuju ruang dosen, Eraz menimbang-nimbang apakah kelakuannya ini salah atau tidak.

Memang ini tugas kelompok, tetapi apakah kelompok jika tugasnya dikerjakan oleh satu anggota saja? Awalnya memang Oka mengantar, tetapi setelah itu? Oka acuh dengan tugas kelompoknya. Begitu pun dengan Wati.

Eraz terlalu muak dengan kejadian seperti ini. Dan cukup, dikejadian yang ketiga ini dirinya mengalah. Bukan ingin bermaksud menyusahkan orang lain. Setidaknya Eraz ingin Wati dan Oka, mungkin teman satu kelasnya juga, agar belajar menghargai waktu teman sekelompok yang bersedia diluangkan untuk mengerjakan tugas kelompok tetapi cita rasa tugas mandiri.

Setelah mengumpulkan tugas di meja dosen, terlihat senyum teramat puas di raut wajah Eraz, "Baru kali ini beda rasanya, iya beda, gue ngejahatin temen sekelas gue. Biarlah, sekali-kali masa bodo sama nasib orang lain. Siapa tau aja, abis ini Wati sama Oka pada ngegosip ke temen sekelas yang lain biar pada ngerti kalo sekelompok sama gue itu gak selamanya enak, bisa aja dijahatin kaya gini. Duh Eraz, Eraz. Lu kenapa? Ngomong sendiri, nyengir-nyengir sendiri"


Kamis, 23 Juni 2016

Ah Sudah Biasa, Katanya - (Cerpen part II)

Slow respon atau respon yang terkesan santai, begitu yang Eraz lakukan kepada Wati dan Oka. Bukan tanpa alasan, Eraz sudah mengira kalau kejadian seperti itu; dihantui oleh Wati dan Oka, akan hadir di hari liburnya.

Lalu, mengapa bisa dihantui? Singkat ceritanya, Eraz satu kelompok dengan Wati dan Oka dalam tugas akhir mata kuliah Sosiologi Pembangunan. Tugasnya sama seperti kelompok yang lain, melakukan observasi di tingkat kecamatan yang ada di kota Jakarta mengenai dampak pembangunan yang ada di kecamatan tersebut. Masing-masing kelompok sudah dibagi di tiap kecamatan berbeda.

Eraz, Wati dan Oka mengobservasi Kecamatan Pancoran untuk kelompok empat. Waktu yang diberikan untuk observasi cukup lama, tujuh minggu. Minggu pertama dan kedua, anggota kelompok empat masih diam tak bergeming dengan tugas observasi. Minggu ketiga, anggota kelompok lain mulai ada yang observasi tetapi tidak dengan kelompok empat. Kelompok empat masih tetap diam tidak ada anggota kelompok yang mulai untuk observasi.

Masuk minggu keempat.

"Ka, mau kapan observasi?" tanya Eraz ketika Oka tiba di pintu masuk ruang kuliah ingin mengantar Wati pulang ke rumahnya karena sakit.

"Yaudah nanti abis jam kuliah, tunggu aku di kantin"

Eraz tidak menjawab. Sepulang jam kuliah Eraz langsung ke kantin mencari Oka.

"Raz, ayo!" panggil Oka.

Observasi pertama, belum menghasilkan apa-apa. Minggu selanjutnya, Wati masih sakit. Eraz kembali mengajak Oka untuk observasi.
-----

Selasa, 21 Juni 2016

Ah Sudah Biasa, Katanya - (Cerpen part I)

"Salah gak ya? Iya sih salah, tapi kalo dibiarin aja? Enak di mereka dong!"
-----
Aneraz Fitri, perempuan berusia 20 tahun itu sedang berusaha mengabaikan pikiran yang enggan dia pikirkan. Tepat tiga hari lalu, Eraz, begitu sapaannya, di sms oleh Wati, teman kampusnya, "Raz, nama aku gimana?"

Singkat, namun membuat Eraz kesal dan enggan untuk membalasnya. Tiga jam kemudian, muncul sms yang sama. Eraz tetap diam dan enggan untuk membalas. Satu jam berikutnya, tiba sms yang sama menghampiri inbox Eraz.

"Raz, nama aku gimana?" tiga sms dengan isi yang sama, Eraz geram dan membalasnya singkat pula, "Gak gimana-gimana, Wat"

Secepat kilat, tiba sms balasan dari Wati, "Gak gimana-gimana apanya? Nilai kamu udah ada, kenapa nilai aku belom ada?"

Eraz enggan untuk membalasnya, lagi. Setengah jam kemudian, tidak hanya sms yang dikirim Wati untuk Eraz. Beberapa sosial media Eraz mulai dibanjiri pesan dari Wati dan tetap dengan isi yang sama, "Gak gimana-gimana apanya? Nilai kamu udah ada, kenapa nilai aku belom ada?

"Ah elah! Berisik banget!" Eraz mulai emosi dengan bombardir pesan Wati.

Belum reda emosi Eraz, ada panggilan masuk dihpnya. Bukan, kali ini bukan Wati. Panggilan masuk ini dari Oka, lebih tepatnya pacar Wati.

"Orang yang sama, sama-sama nyebelin. Cocok lah jadi pasangan"

Dibiarkan saja panggilan masuk dari Oka. Sama seperti Wati, secepat kilat Oka mengirim sms untuk Eraz, "Raz, nilai aku belom ada"

"Ya terus kalo nilai lu gak ada, harus gue yang ngurus. Urus sendiri lah, udah gede, udah bisa pacaran kan tuh" umpat Eraz dalam hati.

"Udah ada nilainya? Kemaren aku ngecek masih kosong" jawabku mengalihkan pembicaraan Wati.

Sambil membalas sms Wati, hp Eraz yang lain berdering. Panggilan masuk dari Oka, lagi.

"Ini lagi yang satu, udah dulu gitu miscallnya. Nanti juga dibales"

Eraz membuka sms dari Oka, lalu membalasnya, "Kan emang belom ada"
----

Sabtu, 04 Juni 2016

Mengapa Saraphaaan

Hai sist, hai gan. Masih betah kan mampir di blog Sarah yang sebagian besar isinya curahan hati si single?

Kalau emang gak betah, ya betah-betahin aja lah. Maksa ini, kan biasanya kamu suka kalau dipaksa-paksa. Yakan?

Skip. Mending fokus ke judul entry, "Mengapa Saraphaaan?"

Sebelumnya, udah tau siapa itu Saraphaaan? Bukan, dia bukan jam makan pagi hari. Sebut saja dia imitasi Sarah. Bedanya, dia penuh tawa tidak pernah ingat duka karena buat dia, hidup itu harus bahagia.

Kalau emang imitasi, harus ribet ya pakai P huruf A-nya ada tiga pakai N? Gak juga sih. Itu cuma ngeramein aja.

Saraphaaan...ada kata Sarah di dalam katanya. Jadi bukan tanpa alasan kenapa harus tetap ada H dirangkaian kata Saraphaaan.

Bisa aja cuma "Sarapaaan" tapi buat Sarah kalau begitu, sama aja menghilangkan nama asli Sarahnya. Hiks. Sedih ugha.

Alay? Ya bodo. Nama-nama siapa? Itu imitasi, imitasi siapa? Eh.....bentar, kok Sarah jadi galak? Maafin kakak.

Lanjut fokus. Anggap lah nama Saraphaaan itu jadi nama pengakrab untuk kita. (Ceilah kita, baper yang ada dah). Coba kalau nyari nama Sarah Azzahra dimesin pencari google atau di facebook? Pasaran bos. (Maafin anakmu ma, pa yang gak tau diri dikasih nama bagus, Sarah Azzahra). Ya seenggaknya, nama Saraphaaan sedikit memudahkan mencari nama Sarah lah yaw. (Dicari segala, emangnya jodoh).

Jadi gimana pemirsa, cukup penjelasannya? Habis ini bisa lah kalau negur, Sar aja. Kalau emang mau pakai nama belakang, Rap aja. Kurang enak didengernya kalau manggil nama Sarah jadi, Rah...yang gerah, yang merah, penuh darah. (Apa coba, Sar?)

Selamat pagi, Sarah pamit tidur dulu yay. Event nulis ternyata membunuh jam tidur Sarah, eh tapi gak juga sih...emang Sarahnya aja yang doyan begadang. Bye! Salam rindu, dari Sarah yang sedang memeluk mesra si guling berwarna kelabu.

#Revisi 20 Feb 2017; Saraphaaan itu bisa dicoba di beberapa keyword media sosial. Karena apa? Karena Sarah menggunakan Saraphaaan hampir di semua media sosial yang memerlukan ID untuk login.